advertisement
Lain bulu lain ilalang, lain dulu lain sekarang.
Peribahasa ini sejalan dengan keputusan cowok yang dulunya kerja sebagai bankir lalu ia banting setir jadi pedagang sate di Swiss. Begini kisahnya!
Sebagai kota mewah yang tentu saja memiliki biaya hidup yang tak murah, Swiss bukan menjadi pilihan utama orang Indonesia untuk tinggal berlama-lama di sana.
Namun berbeda dengan seorang bankir dengan karir dan gaji yang terbilang cukup untuk menghidupi dirinya namun justru ia memilih untuk keluar dari pekerjaannya dan menjadi tukang sate saja.
Bukan sembarang tukang sate yang hilir mudik kipas kipas pakai gerobak, cowok bernama Rio Vamory ini punya gaya tersendiri dalam menjajakan sate khas Indonesia di negara Swiss.
Awalnya Rio mengaku bosan dengan pekerjaannya sebagai bankir di bagian keuangan dengan jam kerja yang monoton.
Tak hanya itu, di masa mendatang ia ingin dikenal anaknya sebagai orang asli Indonesia.
Tak heran, seorang ayah berusia 33 tahun ini meninggalkan jabatannya sebagai Key Account Manager di Enam Swiss Exchange.
Kini kesehariannya dihabiskan dengan bergelut bersama tusuk sate, saus sambal kacang, bara dan juga asap.
Sesuai dengan apa yang ia geluti, kini banyak orang yang mengenalnya sebagai 'Mr Satay.'
Perjalanan Rio Mr Satay tidak pendek.
Sudah lebih dari 10 tahun, ia telah menghabiskan waktunya di berbagai bank-bank besar dan swasta.
Sebagai bankir ia memiliki kemampuan untuk menyelesaikan transaksi derivatif tanpa melalui bursa (OTC).
Rio seorang pribadi yang sangat ramah, namun sayangnya ia tak merasa nyaman dengan pekerjaannya.
Ia mengingat-ingat perjalanan hidupnya, saat pertama kali memutuskan sekolah di bidang bisnis, ia pernah menjadi pelayan di "Mere Catherine" yang berada di kota tua.
Dengan ijazah komersialnya, ia bekerja selama dua tahun di Ristorante Liguria sebagai Deputi Managing Director.
Selanjutnya ia bekerja di industri perhotelan bagian keuangan, namun karena jam kerja yang kurang teratur ia pun keluar dari tempat tersebut.
Rio sempat mengambil program kuliah kerja di Komunikasi Bisnis di Universitas Ekonomi di Zurich, Swiss.
Sebagai karya sarjana terakhir, ia berencana menciptakan rencana bisnis untuk 'Mr Satay.'
Untuk memuluskan rencananya tersebut ia membuat video dan mengumpulkan dana melalui crowdfunding.
Tak hanya sebagai tempat untuk mengumpulkan dana, crowdfunding ini juga sebagai tes pasar apakah banyak orang yang berminat dengan idenya.
Target modal awal sebesar 12.000 frank Swiss atau sekitar Rp 150 juta, tercapai melalui cara itu.
Uang itu selanjutnya dibelikan alat-alat dan bahan untuk membuat gerobak kayu dengan kesan modern khas pedagang kaki lima di Indonesia.
Gerobak sate milik Rio mentap di Hardstrasse di Zurich Barat.
Namun kini keputusannya tersebut memasuki babak baru dalam hidupnya karena tepat setelah perayaan hari buruh, yaitu 2 Mei 2017, ia akan bergabung bersama truk makanan.
Kini kabar mr. Satay telah tersbear luas, tak hanya di Indonesia justeru cerirta Rio ini telag tersebar di NZZ, koran paling prestisius di Swiss.
Sepertinya, cita-cita Rio ingin dikenal anaknya sebagai orang asli Indonesia akan tercapai, karena ia betul-betul memperkenalkan makanan khas Indonesia dan mengambil keuntungan yang tidak sedikit tentu saja.
Dingin-dingin di Swiss menikmati sate buatan Mr. Satay Indonesia, hmmmm? (*)
Sumber: tribunnews.com
advertisement